Kurs Rupiah Indonesia Menguat ke 16.786 per Dolar AS, Cadangan Devisa RI Naik ke USD 157,1 Miliar
|
- Rupiah telah menguat 1,86% terhadap dolar AS sejak pekan lalu, didukung pelemahan Indeks Dolar (DXY).
- Cadangan devisa Indonesia naik ke $157,1 miliar per Maret 2025, cukup untuk 6sampai 7 bulan impor.
- Pemerintah Indonesia siapkan tawaran pembelian produk AS senilai $18-19 miliar untuk negosiasi tarif.
Pada hari Senin, nilai tukar Rupiah Indonesia (IDR) terlihat menguat terhadap Dolar AS (USD), dengan pasangan mata uang USD/IDR tengah diperdagangkan di 16.786 di siang hari sesi Asia. Rupiah Indonesia telah menguat sebesar 1,86% terhadap USD sejak Rabu pekan lalu.
Indeks Dolar AS (DXY) terus merosot mendekati posisi terendah dalam tiga tahun, pada saat berita ini ditulis, indeks ini tengah diperdagangkan di sekitar 99,25. Pelemahan tersebut terjadi karena meningkatnya kekhawatiran terhadap potensi perlambatan ekonomi Amerika Serikat. Sentimen negatif juga diperburuk oleh kekhawatiran yang terus membayangi terkait dampak tarif terhadap perekonomian global.
Menurut analis Bank Danamon, tekanan jual di pasar obligasi domestik, masih mendominasi dan mendorong kenaikan imbal hasil. Kenaikan ini sejalan dengan lonjakan imbal hasil obligasi pemerintah AS (UST), khususnya pada tenor panjang yang naik lebih dari 15 basis poin. Imbal hasil obligasi Indonesia tenor 10 tahun turut naik 4 basis poin dibandingkan penutupan perdagangan sebelumnya. Pada saat ini, imbal hasil obligasi Indonesia bertenor 10 tahun berada di 7.156 atau menguat 1,66%.
Bank Indonesia (BI) telah melaporkan cadangan devisa Indonesia untuk akhir Maret 2025, yang tercatat sebesar 157,1 miliar Dolar AS, meningkat dibandingkan posisi Februari yang sebesar 154,5 miliar dolar. Kenaikan ini berasal dari penerimaan negara melalui pajak, jasa, serta penarikan pinjaman luar negeri, di tengah langkah Bank Indonesia menstabilkan nilai tukar Rupiah. Nilai cadangan tersebut mampu membiayai 6 sampai 7 bulan impor dan melampaui ambang batas kecukupan internasional. Bank Indonesia menilai tingkat cadangan devisa saat ini memadai untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, dan akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah guna meningkatkan ketahanan eksternal dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Sementara itu berita terkait upaya pemerintah Indonesia untuk menegosiasikan tarif AS masih berlangsung. Pemerintah dilaporkan akan mengirimkan beberapa perwakilannya pekan ini, dengan membawa proposal untuk menawarkan pembelian produk-produk Amerika Serikat senilai 18 hingga 19 miliar dolar AS sebagai bagian dari upaya negosiasi terkait rencana tarif dari Washington, ungkap Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada Senin. Selain itu, Wakil Menteri Investasi menyebut Indonesia juga mempertimbangkan usulan investasi BUMN di sektor minyak, gas, dan teknologi informasi AS.
Selanjutnya, selain memantau tarif serta perkembangan perang dagang antara AS dan Tiongkok, investor juga akan mencermati beberapa data AS yang akan dirilis pekan ini, di antaranya adalah; pada 15 April, dijadwalkan rilis Harga Impor/Ekspor, Indeks Manufaktur Empire State, dan laporan API soal stok minyak. Tanggal 16 April, giliran data Hipotek MBA, Penjualan Ritel, Produksi Industri, Kapasitas Produksi, Persediaan Bisnis, Indeks Perumahan NAHB, Arus TIC Bersih, dan laporan EIA. Sementara pada 17 April, akan dirilis data Izin Bangunan, Pembangunan Perumahan Baru, Indeks The Fed Philadelphia, dan Klaim Tunjangan Pengangguran Awal.
Dan beberapa data penting dari Indonesia juga patut dicermati, seperti Keyakinan Konsumen bulan Maret yang akan dirilis pada tanggal 15 April dan Penjualan Ritel bulan Februari tanggal 16 April.
Pertanyaan Umum Seputar Tarif
Meskipun tarif dan pajak keduanya menghasilkan pendapatan pemerintah untuk mendanai barang dan jasa publik, keduanya memiliki beberapa perbedaan. Tarif dibayar di muka di pelabuhan masuk, sementara pajak dibayar pada saat pembelian. Pajak dikenakan pada wajib pajak individu dan perusahaan, sementara tarif dibayar oleh importir.
Ada dua pandangan di kalangan ekonom mengenai penggunaan tarif. Sementara beberapa berpendapat bahwa tarif diperlukan untuk melindungi industri domestik dan mengatasi ketidakseimbangan perdagangan, yang lain melihatnya sebagai alat yang merugikan yang dapat berpotensi mendorong harga lebih tinggi dalam jangka panjang dan menyebabkan perang dagang yang merusak dengan mendorong tarif balas-membalas.
Selama menjelang pemilihan presiden pada November 2024, Donald Trump menegaskan bahwa ia berniat menggunakan tarif untuk mendukung perekonomian AS dan produsen Amerika. Pada tahun 2024, Meksiko, Tiongkok, dan Kanada menyumbang 42% dari total impor AS. Dalam periode ini, Meksiko menonjol sebagai eksportir teratas dengan $466,6 miliar, menurut Biro Sensus AS. Oleh karena itu, Trump ingin fokus pada ketiga negara ini saat memberlakukan tarif. Ia juga berencana menggunakan pendapatan yang dihasilkan melalui tarif untuk menurunkan pajak penghasilan pribadi.
Informasi di halaman ini berisi pernyataan berwawasan ke depan yang melibatkan risiko dan ketidakpastian. Pasar dan instrumen yang diprofilkan di halaman ini hanya untuk tujuan informasi dan tidak boleh dianggap sebagai rekomendasi untuk membeli atau menjual aset ini. Anda harus melakukan riset menyeluruh sebelum membuat keputusan investasi apa pun. FXStreet sama sekali tidak menjamin bahwa informasi ini bebas dari kesalahan, kekeliruan, atau salah saji material. Ini juga tidak menjamin bahwa informasi ini bersifat tepat waktu. Berinvestasi di Pasar Terbuka melibatkan banyak risiko, termasuk kehilangan semua atau sebagian dari investasi Anda, serta tekanan emosional. Semua risiko, kerugian, dan biaya yang terkait dengan investasi, termasuk kerugian pokok, adalah tanggung jawab Anda. Pandangan dan pendapat yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi atau posisi FXStreet maupun pengiklannya.